Satgas Nawacita Indonesia




SNI Satgas Nawacita Indonesia Didirikan tanggal 9 Januari 2021, dipimpin oleh Komisioner satgas nawacita yaitu

1. Prof H Muhammad Ashraf Phd

2. H. Wisnu Soehardjo B.Sc., SH., MH., MBL.

3. Drs. Bambang Ari

4. Ir. Goenardjoadi Goenawan MM.

Tujuan didirikannya SNI Satgas Nawacita adalah membangun semangat ombudsman atau pengawasan terhadap praktek birokrasi pemerintah dan hubungannya dengan masyarakat. Misalnya dalam kaitan Satgas BLBI berdasarkan kepres no 6 tahun 2021 Menjelaskan tentang hak tagih negara atas utang obligasi BLBI.


Ir. Goenardjoadi Goenawan MM. Komisioner SNI satgas nawacita menerangkan bahwa proses hukum mekanisme hak tagih negara atas BLBI tidak bisa serta merta dilakukan penahanan atas pidana. Mengingat kebijakan pemerintah tidak bisa dikriminalisasi. Selain itu policy obligasi BLBI adalah perkara perdata.


Oleh karena itu satgas BLBI bisa memiliki 5 kuncinya.


LANGKAH STRATEGIS

Goenardjoadi mengingatkan kompleksitas permasalahan BLBI harus dipahami menyeluruh oleh Satgas Hak Tagih dalam menjalankan tugasnya ke depan. Menurut dia, pekerjaan utama dari Satgas adalah mengejar aset-aset BLBI yang pemiliknya tidak patuh atau sampai sekarang tidak memiliki niat baik untuk mengembalikan dana talangan BI kepada negara.’


Dia menuturkan Keppres No. 6 Tahun 2021 memberi ruang kepada Satgas Hak Tagih BLBI untuk melakukan lima langkah agar pengembalian dana talangan BLBI bisa dilakukan secara optimal. Pertama, Satgas BLBI harus melihat fakta pengucuran dana BLBI sebagai upaya penyelamatan bank. Artinya, perkara yang menyangkut obligor penerima BLBI adalah perkara perdata yakni utang piutang terkait dengan kredit perbankan.


Kedua, obligor BLBI sejatinya sudah mendapatkan hukuman kehilangan kepemilikan atas aset perusahaan bank yang saat itu dimiliki. Obligor BLBI menyerahkan aset-aset itu kepada negara untuk kemudian disehatkan lalu dijual kepada investor.


Ketiga, hukuman yang diberikan pemerintah kepada obligor harus konsisten. Pemerintah menetapkan obligor BLBI dalam ‘daftar merah’ yang tidak bisa lagi menjalankan bisnis bank di Indonesia. Pada faktanya, beberapa obligor telah melakukan pengambilaihan, merger, dan akuisisi nberupa bank, aset tanah, maupun perusahaan yang pernah dimiliki.


Keempat, terkait dengan ‘daftar merah’ itu, Satgas BLBI harus bisa menemukan kesalahan dalam proses pengambilalihan aset-aset yang sempat dimiliki negara kemudian dijual kepada para investor, lalu saat ini kembali lagi kepada para penerima dana BLBI yang masuk dalam ‘daftar merah’ itu.


Kelima, atas kesalahan yang ditemukan oleh Satgas BLBI itu, pendekatannya bukan lagi hukuman pidana. Melainkan dengan menjatukan denda. Perhitungan denda tidak lagi mengacu kepada nilai BLIBI yang dikucurkan negara pada waktu krisis, melainkan berpedaoman pada nilai aset saat ini.


“Bilamana ada kehendak para pemilik obligor BLBI ingin buy back bank atau perusahaannya, bisa ditetapkan denda,” jelasnya.


Dia menyadari bahwa upaya pemerintah untuk mengembalikan aset BLBI tidak mudah karena banyak muatan politik dan kepentingan ekonomi di balik penyelamatan perbankan pascakrisis ekonomi 1998.


Hanya saja, pemerintah perlu serius untuk mengatasi persoalan BLBI ini. “Saya yakin obligor yang selama ini patuh, mereka juga merasa kecewa kalau pemerintah tidak serius terhadap BLBI ini. Mereka akan merasa diperlakukan tidak adil. Sekali lagi, obligor ini banyak yang bisnisnya mendunia, jadi orang-orang kaya di Indonesia dan dunia.


Pendekatan dengan orang kaya itu tentu bukan pendekatan hukum, melainkan dengan pendekatan-pendekatan bermartabat karena mereka juga sudah berkontribusi membangun Indonesia.”